Kata konstitusi berasal dari bahasa Prancis “Constitur” yang
berarti membentuk. Sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal “Grondwel” yang
berarti Undang-undang Dasar. Bahasa Jerman dikenal istilah
“Grundgesetz”. Konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental)
mengenai sendi-sendi yang diperlukan untuk berdirinya sebuah Negara. E.C.S Wade
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah “a document having a special legal
sanctity which sets out the framework and the principal functions of the organs
of government of a state and declares the principles governing the operation of
those organs”. (naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari
badan-badan pemerintahan suatu Negara dan menentukan pokok cara kerja badan
tersebut).
Dalam terminology fiqh siyasah, istilah konstitusi dikenal
dengan dustur, yang pada mulanya diartikan dengan seseorang yang memiliki
otoritas, baik dalam bidang politik maupun agama. Dustur dalam konteks
konstitusi berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerjasama
antar sesama anggota masyarakat dalam sebuah Negara, baik yang tidak tertulis
(konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi). Lebih lanjut dijelaskan Abdul
Wahab Khallaf, bahwa prinsip yang ditegakkan dalam perumusan undang-undang
dasar(dustur) ini adalah jaminan atas hak-ahak asasi manusia setiap anggota
masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa
membeda-bedakan stratifikasi social, kekayaan, pendidikan dan agama. Jadi,
dalam praktiknya, konstitusi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu tertulis
(undang-undang) dasar dan yang tidak tertulis, atau dikenal juga dengan
konvensi.
Secara garis besar, konstitusi memuat tiga hal, yaitu:
pengakuan HAM,struktur ketatanegaraan yang mendasar dan pemisahan atau
pembatasan kekuasaan. Selain itu dalam konstitusi juga harus terdapat pasal
mengenai perubahan konstitusi.
Konstitusionalisme adalah faham mengenai pelembagaan
pembatasan kekuasaan pemerintahan secara sistematis dalam sebuah konstitusi,
dengan demikian indikator utama konstitusionalisme adalah adanya konstitusi.
Secara terminologis, Bryce menyebut konstitusionalisme sebagai faham yang
menghendaki agar kehidupan negara didasarkan pada konstitusi, sebagai kerangka
masyarakat politik yang diorganisir berdasarkan hukum dan membentuk
lembaga-lembaga permanen dengan tugas dan wewenang tertentu. Dalam konteks
modern, kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis merupakan keniscayaan,
terutama dalam organisasi yang berbentuk badan hukum (legal entity)
sebagaimana Brian Thompson yang menyatakan bahwa konstitusi adalah aturan
tertulis yang harus dimiliki oleh setiap organisasi, demikian pula negara. Dan
memang tidak dapat disangkal bahwa dewasa ini hampir semua negara memiliki
naskah tertulis sebagai UUD (Kecuali Inggris, Selandia Baru dan Israel). Mark
Tushnet menyebutkan bahwa fungsi konstitutif konstitusionalisme adalah
keterkaitan antara konstitusi (constitution) ‘mati’ dengan konstituen
(constituent) sebagai konstitusi yang ‘hidup’. Jika negara menganut kedaulatan
rakyat maka sumber legitimasi konstitusi adalah rakyat. Hal inilah yang
disebut constituent power atau kewenangan yang berada di luar
sekaligus di atas sistem yang diaturnya.
Menurut William G. Andrew, basis pokok konstitusionalisme
adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas
rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Jika
konsensus atau general agreement itu runtuh maka runtuh pula
legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan. Tolok ukur tegaknya
konstitusionalis-me yang lazim disebut prinsip limited government bersandar
pada tiga elemen kesepakatan (general agreement) yaitu;
kesepakatan tentang staatsside; the rule of law;
dan format regiminis yaitu kesepakatan mengenai bentuk
institusi dan prosedur ketatanegaraan berkenaan dengan bangunan organ negara
dan prosedur yang mengatur kekuasaannya, hubungan antar organ negara itu satu
sama lain, dan hubungan antar organ negara itu dengan warga negara.
Menurut Abdulkadir Besar Konstitusionalisme merupakan
komponen intergral dari pemerintahan demokratik. Tanpa memberlakukan
konstitusionalisme pada dirinya, pemerintahan demokratik tidak mungkin
terwujud. Konstitusionalisme menurutnya memiliki dua arti yakni
konstitusionalisme atri-statik dan arti-dinamik. konstitusionalisme
artri-statik berkenaan dengan wujudnya sebagai ketentuan konstitusi yang
meskipun bersifat normatif tetapi berkwalifikasi sebagai konsep dalam keadaan
diam yang diinginkan untuk diwujukan. Paham Konstitusionalisme dalam
arti-statik yang terkandung dalam konstitusi, mengungkapkan bahwa konstitusi
itu merupakan kontrak sosial yang didasari oleh ex ante pactum (perjanjian yang
ada sebelumnya)
Sedangkan konstitusionalisme dalam arti-dinamik rumusannya bersifat partikal,
menunjukan interaksi antar komponennya, tidak sekedar rumusan yang bersifat yuridik
normatif. Tetapi menurut Abdul Kadirbesar baik konstitusionalisme arti-dinamik
bukanlah pengganti dari konstitusionalisme dalam arti-statik. Tiap konstitusi
dari negara demokratik niscahaya mengandung konsep konstitusionalisme dalam
arti-statik yang jenis pembatasannya berbentuk konsep keorganisasian negara dan
ia merupakan salah satu komponen dari konstitusionalisme dalam arti-dinamik.
Hal ini bererarti di dalam konstitusionalisme dalam arti-dinamik dengan
sedirinya mencakup konstitusionalisme dalam arti-statik
Oleh karena itu, pada setiap negara hukum dapat dipastikan
memiliki konstitusi, hal ini dikarenakan pada negara hukum, materi muatan hukum
itu sendiri dituangkan dalam bentuk tertentu dengan struktur tertinggi yang
berupa konstitusi, baik yang dituangkan dalam dokumen hukum tertulis (written
constitutions) maupun tidak tertulis (unwritten constitutions). Hal
ini berkaitan dengan Dalam pengertian konstitusi dalam arti sempit dan dalam
arti luas. Pengertian konstitusi dalam arti sempit hanya meyangkut dokumen
hukum saja, yang di dalam mengatur pembagian kekuasaan negara, fungsi, tugas
antar lembaga dan hubungan atara kekuasaan pemerintah dengan hak-hak rakyat.
Jika pada pengertian konstitusi dalam arti sempit hanya meyangkut dokumen hukum
saja maka pengertian konstitusi dalam arti luas tidak hanya menyangkut dokumen
hukum saja melainkan juga menyangkut aspek di luar hukum. Menurut Boligbroke
konstitusi dalam arti luas adalah seluruh hukum, institusi dan kebiasaan yang
dilalirkan dari prinsip-prinsip alasan yang pasti dan tertentu, yang membentuk
seluruh sistem yang disepakati masyarakat untuk mengatur dirinya.
Untuk memahami sebuh materi muatan konstitusi, tidak hanya
cukup dengan analisa constitusional doctrine, tetapi perlu adanya pendekatan
historical dan institutionals. Hal ini diperlukan untuk melihat konstitusi
secara keseluruhan secara utuh.[9] Akan tetapi, historical theories bukanalah
hal yang paling utama didalam interpretasi konstitusi. Karena interpretasi
konstitusi juga harus memahami prinsip-prinsip konstitusi yang sedang terjadi
pada saat konstitusi berlaku. Hal ini berarti bagaimankah teks konstitusi
dipahami dalam konteks konstitusi pada saat itu.
John Ferejohn mengatakan konstitusi haruslah dipahami secara
historis dan cultural atau adanya historis dan cultural interpretation. Menurut
John interpretasi konstitusi dapatlah dilakukan dengan bentuk backward-looking
dan forward-looking. Backward-looking melihat konstitusi secara historis dan
cultural untuk mengetahui kekuatan teks konstitusi. Sedangkan forward-looking
dalam mempertimbangkan efek dari keadaan hukum atas fungsi sistem politik dan
kehidupan masyarakat.
sumber http://herybastyani.blogspot.co.id/2013/06/konstitualisme.html